oleh: Ni Ketut Purnamiati*
Kupit. Itu nama panggilan rumahku, teman-temanku memanggilku dengan sebutan itu, mungkin karena terlihat dari mataku yang sipit seperti orang cina. Nama lengkapku Ni Ketut Purnamiati, aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku sudah berumah tangga dan hanya akulah yang masih tinggal dengan kedua orang tuaku. Aku terlahir di dalam keluarga yang sederhana. Ayahku hanyalah seorang pegawai negeri dengan golongan kecil, selain sebagai pegawai negeri ayahku juga bekerja sebagai seorang petani untuk mengisi waktu luang sembari menunggu mentari kembali ke peraduannya, dan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang pekerjaannya hanyalah membuat ketupat untuk dijual ke pasar.
Kedua orangtuaku sudah mendidiku menjadi seorang remaja yang mandiri dan bertanggung jawab sejak duduk di bangku menengah kejuruan. Aku tidak seperti remaja pada umumnya yang hanya sekolah dan selanjutnya dapat menikmati masa remajanya. Aku berbeda, bisa dibilang aku tidak menikmati masa remajaku, bahkan untuk sekadar keluar untuk jalan-jalan pun aku tidak memiliki waktu. Dalam pikiranku hanyalah terdapat cara bagaimana aku bisa menghasilkan uang untuk biaya sekolahku dan keperluan sehari-hariku. Jarak sekolah dari rumahku kurang lebih 800 m. Cukup dekat memang, sehingga aku bersekolah dengan berjalan kaki, hitung- hitung berolahraga setiap harinya. Sepulang sekolah aku memulai kegiatanku dengan mengantar canang dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Lumayan uangnya bisa dipergunakan untuk membayar uang sekolah dan disisihkan untuk uang jajan sehari- hari.
Tepat tahun 2016, aku lulus dari bangku menenngah kejuruan, itu awal berontakku terhadap kedua orangtuaku. Rasa kecewa, marah , benciku terhadap mereka semakin menjadi di saat aku meminta izin untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Mereka tidak menjawab pertanyaanku bahkan tidak memberi tanggapan untuk itu. Rasa kecewaku semakin menjadi dan hanya bisa kulampiaskan dengan menangis dan mengurung diri. Aku mengerti di saat itu perekonomian keluargaku dalam keadaan kritis. Di samping itu, kendaraan pun aku tidak punya. Dengan rasa kasihan dan bersalah, mereka mencoba untuk memberikan pemahaman kepadaku dan memberi saran untuk mencari pekerjaan terlebih dahulu dengan tujuan untuk mencari pengalaman dan bisa belajar dewasa dalam segala situasi yang akan dihadapi nanti.
Selain itu, aku juga diharapkan bisa menabung untuk bekal melanjutkan sekolah nantinya. Dengan berat hati, aku harus bisa menerima keputusan meraka. Aku harus bisa menerima kenyataan itu, dengan tekad yang kuat aku memulai mencari pekerjaan di Denpasar. Tepat di bulan Juni, aku memulai karierku dengan bekerja di sebuah restoran Jepang di daerah Sanset Road. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama hanya tiga bulan bekerja sebagai waitress di sana. Orangtuaku memintaku untuk kembali ke rumah dengan alasan ibuku sakit-sakitan.
Ya, memang pada saat itu keadaan ibuku sangat parah, kondisi fisiknya sangat lemah bahkan untuk berjalan saja harus dibantu dengan tongkat agar bisa melangkah walaupun rasa sakit terlihat jelas pada raut wajahnya yang lesu dan kusam. Selama dua minggu lebih aku merawat ibuku tanpa ada pekerjaan menganggur, tanpa ada kegiatan selain mengurus ibuku. Hari pun berlalu, keadaan ibuku mulai membaik. Aku merasa bosan hanya di rumah tanpa ada pemasukan untuk diriku. Akhirnya, aku mencoba untuk melamar pekerjaan dari satu hotel ke hotel yang lainnya tetapi hasilnya nihil. Aku mulai kembali menyalahkan kedua orangtuaku.
“Seandainya kalian tidak memintaku untuk pulang. Seandainya saja kalian mau membiayai pendidikanku, mungkin aku tidak akan dalam situasi seperti ini dan dalam kondisi seperti ini,” keluh kesahku kepada kedua orangtuaku. Menangis setiap hari, menutup diri dan tidak mau bergaul karena malu menjadi pengangguran, sungguh sangat sulit untuk kujalani. Orangtuaku hanya memintaku untuk selalu bersabar dan berdoa sembari menunggu hasil dari usaha yang aku kerjakan.
Kring…. kring… kring… suara telepon genggamku tepat pukul 10 pagi. Aku mendapat kabar gembira. Doaku terjawab. Aku mendapat panggilan pekerjaan di tempatku bekerja sekarang, yaitu Hotel Relax Bali Resort. Senyum bahagia terpancar dari raut wajahku. Kesedihanku berubah menjadi kebahagiaan untukku. Kesabaranku terjawab. Tepat awal Oktober 2016, aku memulai karierku kembali walaupun statusku hanyalah sebagai daily wolker di bagian room dapetement di tempat itu. Namun, apapun itu tetap aku syukuri. Awalnya memang terasa terbebani dengan pekerjaan yang aku jalani karena aku tidak memiliki skill di bagian room. Akan tetapi, karena aku butuh uang untuk biaya sekolahku nanti aku menjalani itu dengan ikhlas. Aku pun mencintai pekerjaanku.
Tiga bulan bekerja sebagai Daily Walker aku mendapatkan kabar gembira, Aku diangkat sebagai karyawan tetap. Tanda tangan kontrak pun sudah aku lakukan. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi dengan karierku. Semangat menabung pun aku tekuni. Aku memberanikan diri untuk mengkredit sepeda motor untuk keperluanku bekerja dan untuk kujadikan modal utama jika suatu saat nanti Tuhan memberiku kesempatan untuk bersekolah lagi.
Enam bulan bekerja, jenjang karierku semakin bagus. Aku mendapat rekomendasi untuk training di bagian therapis. Tentunya, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sungguh menyenangkan, aku mendapatkan pengalaman baru, banyak treatments yang aku pelajari, seperti Balinese massage, facial, nail art, dan lain-lain. Aku sangat menyenangi kedua pekerjaanku itu. Satu tahun bekerja menjadi seorang therapis dan room staff, aku kembali dipercaya untuk bekerja di bagian restaurant sebagai seorang waitress. Aku dipindahkan dengan alasan aku memiliki kemampuan untuk berbicara langsung dengan tamu- tamu yang datang ke sana untuk liburan. Tanpa berpikir panjang, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku mengiakan keputusan manager-ku.
Aku terkejut sekaligus senang dengan semua kabar ini. Akhirnya, aku kembali ke pekerjaan lamaku. Aku merasa pengalamanku semakin banyak sebagai seorang waitress. Aku diharuskan bisa menjaga penampilan secara baik, baik dalam segi cara berpakaian maupun dari segi attitude karena dalam dunia pariwisata seorang pramusaji harus bisa menjaga hubungan baik antara tamu dan seorang pelayan dengan tujuan kita bisa memberikan service secera maksimal.
Bekerja sebagai seorang waitress adalah pekerjaan yang sangat beresiko. Aku bekerja di dunia malam yang penuh dengan minuman-minuman, seperti wine dan wishkey. Tak jarang waktu bekerjaku lebih dari batas yang ditentukan, overtime. Pekerjaan ini sangat melelahkan. Aku harus menemani tamu-tamu untuk minum dan berbicara walaupun tak jarang rasa ingin tidur menghampiri, terkadang aku merasa bosan dengan apa yang aku kerjakan. Ini bukan dunia yang aku inginkan. Aku tidak mau bekerja di dunia, seperti ini yang banyak di kelilingi dengan asap rokok, minuman keras, dan musik- musik yang membuat aku ingin pergi secepatnya dari tempat itu.
Aku merasa capek. Pekerjaan itu sangat menguras tenagaku dan berimbas pada kesehatan fisikku. Tubuhku mulai terlihat kurus. Wajahku pucat lesu dengan lingkaran hitam di kedua bagian mataku. Rasanya ingin menyerah. Pekerjaan ini sangat terikat dan berdampak negatif untuk diriku terutama untuk kesehatan fisikku. Namun, karena ambisiku yang tinggi aku harus kuat dan harus mampu menjalani itu. Aku harus punya cukup uang untuk melanjutkan sekolahku nanti. Aku tidak mau bekerja seperti ini sampai tua, terikat dan tidak ada kebebasan. Hidupku harus bisa lebih baik dan harus berubah ke arah yang lebih bagus. Memikirkan hal itu, akhirnya aku memberanikan diri untuk meminta izin kepada kedua orang tuaku untuk melanjutkan sekolahku lagi.
Awalnya mereka menentang untuk itu. Mereka takut aku tidak bisa membagi waktu antara bekerja dan kuliah, tetapi aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku mampu menjalani itu. Akhirnya, mereka mengizinkan aku untuk melanjutkan sekolahku dengan alasan aku sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup lumayan untuk biaya perkulihanku. Aku pun memilih melanjutkan perkuliahanku di salah satu perguruan tinggi yang berada di Karangasem, tepatnya di Kota Amlapura. Aku mengambil program studi Pendidikan Bahasa Inggris di STKIP Agama Hindu amlapura.
Alasanku bersekolah di STKIP Agama Hindu Amlapura karena jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 45 menit dari rumahku di Kubu. Selain itu, agar aku juga bisa kuliah sambil bekerja. Aku tidak terlalu merepotkan kedua orangtuaku. Awal perkuliahan ini sangat berat aku jalani. Aku merasa tidak bisa mengatur waktu antara kuliah dan bekerja. Capek fisik dan pikiran seolah-olah datang bersamaan menyerang diriku. Aku merasa terbebani dengan semua ini. Aku khawatir, aku tidak akan bisa menyelesaikan tugas-tugasku. Namun, setelah menjalani semua itu, ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Aku merasa mulai menyenangi dan mulai menikmati menjadi mahasiswa baru, bertemu orang-orang baru dan berada dalam lingkungan baru. Aku berharap perkuliahanku ini tidak sia-sia untuk diriku ke depannya dan semoga apa yang aku jalani bermanfaat untuk diriku dan orang-orang di sekelilingku. Aku juga berharap semoga aku bisa menyelesaikan pendidikanku dengan nilai yang cukup bagus nantinya.
“Yakinlah pada dirimu karena apapun yang kamu kerjakan tidak akan sia-sia untuk kehidupanmu. Prinsip kehidupan adalah keikhlasan. Ketika kamu menjalani dengan ikhlas, tanpa terbebani, semua rintangan akan terlewati. Berserahlah kepada Tuhan karena di setiap kesulitan yang kamu alami akan termudahkan oleh-Nya. Ingatlah selalu berusaha dan berdoa. Itu tidak akan pernah sia-sia karena tidak ada hasil yang akan mengkhianati usaha. Semangat, optimis, dan kerja keras akan membawa buah yang manis untuk masa depan yang lebih baik.”
*Penulis adalah mahasiswa semester I tahun akademik 2018/2019 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP Agama Hindu Amlapura