oleh: I Ketut Suardana
Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti memiliki keluarga. Bisakah dibayangkan apa yang akan terjadi bila tidak ada keluarga? Ke mana kita akan pulang? Siapa yang akan memberikan perlindungan, cinta, dan kasih sayang? Tidak bisa dibayangkan bagaimana wajah kehidupan manusia jika tidak ada sistem atau pranata sosial yang disebut keluarga itu. Oleh karena itu, keluarga sesungguhnya memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam sistem pranata sosial di masyarakat.
Keluarga adalah pihak pertama dan utama yang mampu memberikan dukungan, ketenangan, dan keamanan yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Penting bagi manusia untuk merasa didukung, dihargai, dan dihormati. Di saat yang sama juga penting bagi manusia untuk mendapatkan ketenangan dan rasa aman. Bukan hanya pada anak-anak, tetapi juga bagi orang dewasa. Keluarga menyediakan semua dukungan, ketenangan, dan rasa aman bagi setiap penghuninya. Keluarga adalah tempat kali pertama seseorang mendapatkan pendidikan mulai dari hal yang sederhana, seperti berbicara, menyanyi, bermain, beretika sopan santun. Melalui keluarga pula terbina pendidikan karakter seseorang. Jika membangun karakter diibaratkan membangun rumah, keluarga adalah pondasi dasar yang membuat rumah tersebut kokoh.
Kehidupan sebuah keluarga dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Perubahan pola-pola kehidupan keluarga tersebut dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Jika dulu kehidupan keluarga begitu akrab dengan berbagai hal yang ada di alam, kini pola kehidupan keluarga pada zaman modern telah jauh berbeda. Perubahan pola-pola kehidupan pada keluarga tersebut juga berpengaruh pada budaya literasi keluarga masing-masing. Setiap keluarga memiliki polanya sendiri dalam membangun budaya literasi di keluarga. Hal itu sah-sah saja sepanjang yang tertanam pada anak adalah hal-hal yang positif, yakni pengetahuan positif, sikap positif, dan keterampilan positif. Mengenai cara pembentukannya itu, setiap keluarga melakukan dengan caranya masing-masing, tetapi dengan harapan mencapai tujuan yang sama, yakni terbentuknya generasi yang literat.
Seperti yang kita ketahui literasi merupakan saat-saat di mana seorang anak memiliki kemampuan memahami dan mengelola informasi yang diterima baik melalui mendengar, melihat, dan merasakan apa yang terjadi. Dalam kehidupan sebuah keluarga pada masa kini sebagian besar mengalami kerenggangan hubungan antarkeluarga terutama antara anak dan orang tua. Kerenggangan itu sebagian besar dipengaruhi oleh budaya hidup zaman modern ini. Terlalu banyak kesibukan yang dikerjakan, baik itu untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, hiburan diri pribadi, maupun untuk berbagai hal lainnya. Dengan keadaan seperti ini, orang tua terkadang mengabaikan penanaman budaya literasi pada anak. Anak menjadi berkembang tanpa pengawasan orang tua. Padahal interaksi antara anak dan orang tua tersebut sangat penting dalam menumbuhkan budaya literasi di keluarga.
Namun, bagi keluarga modern yang literat, mereka akan tetap memandang penanaman budaya literasi sangat penting bagi generasinya. Walaupun dalam kesehariannya mereka disibukkan dengan aktivitas masing-masing, ada kalanya mereka meluangkan waktu khusus berkumpul dan bercengkerama dengan anggota keluarga. Di samping itu, karena kehidupannya sudah mapan, berbagai fasilitas penanaman budaya literasi keluarga bisa terpenuhi. Contoh sederhananya adalah berlangganan surat kabar setiap hari. Berbeda dengan keluarga dari kelas menengah ke bawah, mereka lebih mengutamakan beli sembako daripada berlangganan koran. Hal ini tentu menjadi dualisme yang berbeda yang mencerminkan potret budaya literasi pada keluarga yang berbeda.
Lalu yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah keluarga yang berkecukupan lebih literat daripada keluarga yang kekurangan? Jawabannya tentu saja tidak. Materi tidak menjadi ukuran dalam penentuan keluarga tersebut literat ataukah tidak. Yang menjadi ukuran adalah seberapa besar kemampuan keluarga tersebut mengolah berbagai informasi yang diperoleh dan mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, penanaman budaya literasi keluarga sesungguhnya menjadi kekhasan keluarga tersebut masing-masing.
Bagi keluarga yang berkecukupan, penanaman budaya literasi dapat dilakukan dengan berbagai fasilitas literasi, seperti berlangganan koran, memberikan hadiah buku-buku bacaan saat momen tertentu, bahkan bisa pula dengan cara mendesain rumah yang dapat menumbuhkembangkan literasi anak, seperti melukis tembok-tembok rumah dengan berbagai hal pengetahuan tentang alam dan sekitarnya atau sejenisnya. Namun, bagi keluarga yang tidak berkecukupan yang tidak bisa melakukan cara-cara tersebut, sesungguhnya tidak perlu berkecil hati. Mereka bisa menanamkan atau menumbuhkembangkan budaya literasi anak dengan mengajak sang anak dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh orang tua. Selain keluarga akan terbantu, secara tidak langsung keluarga juga dapat menanamkan pengetahuan kepada sang anak. Dalam aktivitas yang dilakukan bersama itu, anak akan belajar kooperatif (bekerja sama), akan tumbuh sikap bertanggung jawab dalam penyelesaian tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, serta bisa pula menumbuhkan rasa ingin tahu sang anak terhadap aktivitas yang dilakukannya bersama-sama tersebut. Timbulnya rasa ingin tahu anak mencerminkan telah terjadi proses berpikir pada sang anak. Jika ia terus mendapat respons, maka akan terjadilah pengolahan informasi pada sang anak yang menjadikannya lebih literat atau melek informasi.
Namun, ternyata tidak sedikit pula keluarga yang salah tafsir terhadap penanaman budaya literasi keluarga ini. Pihak orang tua memberikan anaknya sedini mungkin dalam penggunaan gadget. Dengan memberikan gadget kepada sang anak, orang tua sudah berpikir bahwa mereka telah menanamkan budaya literasi pada anak. Padahal tidak, sebab jika anak menggunakan gadget tersebut untuk hal-hal yang tidak baik atau mencari informasi-informasi yang tidak layak dikonsumsi, maka bukan generasi yang literat yang terbentuk, tetapi justru malah terjerumus ke hal-hal yang tidak baik.
Hal inilah yang perlu disikapi dengan bijak oleh keluarga masa kini. Orang tua perlu menyadari bahwa menumbuhkembangkan budaya literasi pada anak bisa dilakukan dengan media apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Jika hal ini disadari oleh orang tua, maka kegiatan literasi itu akan membudaya tanpa memandang tempat dan waktu. Inilah sesungguhnya yang diharapkan dari penanaman budaya literasi keluarga tersebut. Di samping itu perlu juga disadari bahwa penanaman budaya literasi pada keluarga tidak dapat terjadi secara instan. Semuanya membutuhkan proses, yakni proses pembiasaan dan hal ini harus berlangsung secara kontinu.
Orang tua yang sibuk bekerja juga perlu mengatur dan membagi waktunya antara urusan pekerjaan dan urusan keluarga. Yang terpenting dalam keluarga adalah bagaimana orang tua mampu membagi waktunya kapan saatnya bekerja, kapan saatnya memperhatikan anak, memberikan kasih sayang dan cinta, memberikan pendidikan kepada anak karena tempat kali pertama anak mendapatkan semua itu adalah dari keluarga, terutama dari orang tua. Dengan demikian, ketika kesadaran itu telah ditanamkan, generasi penerus bangsa ini akan menjadi penerus yang luar biasa hebat karena ditunjang dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini serta didukung oleh karakter, fisik, dan sikap/mental yang baik pula. (Penulis adalah mahasiswa semester II Program Studi Pendidikan Agama Hindu, STKIP Agama Hindu Amlapura)