oleh: Ni Nyoman Somiati Dewi*
Keluarga adalah lingkungan pertama dan terpenting untuk anak. Ketika anak baru lahir, ia akan disambut oleh keluarga dan diberikan nama sesuai nama keluarga. Keluarga pulalah yang mengajarkan anak bagaimana berbicara, memegang benda, merangkak, berjalan, dan yang lainnya yang diajarkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui keluarga, anak mengenal dunia sekitar, pola pergaulan kehidupan sehari-hari yang menjadi proses awal terbentuknya kepribadian anak.
Seiring perkembangan zaman, peran keluarga menjadi semakin kompleks. Apalagi dengan berkembang pesatnya teknologi yang mengharuskan orangtua lebih waspada dalam mengawasi anaknya. Di era teknologi canggih seperti sekarang ini, banyak sekali fitur-fitur yang menyediakan hiburan atau game yang dapat memengaruhi pola pikir serta kecerdasan anak. Bahkan parahnya banyak situs-situs yang tidak seharusnya dilihat oleh anak, tetapi dengan mudahnya mereka jelajahi. Hal ini akan dapat memengaruhi karakter dan kepribadian seorang anak, baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa kecanggihan teknologi dapat mempermudah kita dalam mengakses atau mencari informasi yang kita butuhkan. Hal tersebutlah yang membuat kita nyaman dalam menikmati kecanggihan teknologi tersebut. Anak-anak juga dapat mengakses pelajaran dengan mudah. Namun, kecanduan pada teknologi akan membuat anak kehilangan minat untuk beralih metode pembelajaran, misalnya dengan menggunakan buku secara langsung, dan hal tersebut tentu akan mengurangi bahkan menghilangkan minat baca anak-anak.
Duta Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Dari 61 Negara, Indonesia menempati urutan ke-60 terkait dengan minat baca. Di kala ada banyak dan mudahnya akses membaca buku sekarang ini, hal ini tentu menjadi sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan minat baca masyarakat, pemerintah sedang giat-giatnya mengadakan Gerakan Literasi di antaranya Gerakan Literasi Bangsa (GLB), Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Indonesia Membaca (GIM), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), serta Pustaka Bergerak yang diinisiasi oleh ratusan pegiat literasi di seluruh Indonesia. Pemahaman literasi sejak dini juga diharapkan mampu dilakukan di lingkungan keluarga melalui Gerakan Literasi Keluarga mengingat keluarga merupakan lingkungan terdekat dari anak dan juga seorang anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sebagai tempat paling nyaman bagi anak. Jadi, keluarga merupakan ruang yang lebih efektif untuk menanamkan pemahaman literasi dibandingkan dengan sekolah ataupun lingkungan masyarakat.
Di Indonesia ada berbagai tipe keluarga yang dibedakan dari segi finansial, intelektual, dan juga karakter. Berbagai tipe tersebut juga memiliki tingkat hambatan yang berbeda dalam menerapkan budaya literasi dalam keluarga. Ketidakmampuan dalam finansial merupakan hambatan dalam penerapan literasi keluarga. Orang tua yang tidak mampu akan lebih mementingkan bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dan justru jarang memperhatikan anaknya. Untuk makan sekeluarga saja susah apalagi jika disuruh untuk membeli buku setiap bulannya, mereka tidak akan sanggup. Beberapa keluarga pasti akan berkata seperti itu. Padahal, bukan berarti mesti membaca buku, baru dikatakan berliterasi. Membaca surat kabar, pengumuman, dan yang lainnya yang dapat menambah wawasan atau pengetahuan seseorang sesungguhnya juga merupakan literasi. Bagi yang tidak mampu bisa menyesuaikan dengan kemampuan. Tidak perlu membeli, meminjam pun bisa.
Saat ini banyak sekali pembungkus makanan yang menggunakan buku bekas atau surat kabar bekas. Kita bisa mulai ajarkan budaya membaca tersebut dengan menggunakan selembaran bekas tersebut. Setiap hari kita terus bawakan mereka makanan dengan bungkus surat kabar. Sesudah makan ajak mereka membaca selembaran surat kabar pembungkus makanan tersebut. Kita rangsang dengan dibacakan terlebih dahulu kemudian biarkan mereka memahami info penting apa yang mereka dapat. Hal tersebut akan merangsang rasa penasaran dan ingin tahu yang tinggi dari anak. Mereka akan selalu menunggu, bukan hanya menunggu makanan tetapi juga mereka menunggu surat kabar atau selembaran yang dibawa orang tuanya untuk mereka baca.
Selain finansial, faktor penghambat lain adalah intelektual. Ada keluarga yang memiliki intelektual yang tinggi ada pula keluarga yang berintelektual rendah. Budaya literasi dalam keluarga pada anak akan muncul ketika orang tua memberikan contoh pada anaknya dengan setiap hari membaca. Namun, bagaimana jika orang tua tersebut tidak bisa baca tulis alias buta huruf? Apakah mereka tidak bisa menanamkan budaya literasi? Jawabanya bisa. Karena seperti yang kita ketahui bahwa literasi bukanlah kemampuan untuk membaca dan menulis saja. Menurut UNESCO, literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis yang terlepas dari konteks mengenai keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya. Dengan artian keterampilan nyata tersebut dapat berupa mendengar, melihat, ataupun menyentuh, sehingga mendapatkan pemahaman akan suatu hal. Orangtua yang buta huruf dapat menanamkan budaya literasi sejak dini kepada anak dengan cara bercerita, atau menunjuk langsung benda atau apapun yang ingin ia ajarkan pada anaknya. Orangtua yang buta huruf bukan berarti memiliki anak yang buta huruf juga. Banyak orangtua buta huruf saat ini yang semangat menyekolahkan anak agar anaknya tidak seperti mereka. Mereka dapat membangun literasi dengan terus membimbing, mengingatkan, dan memastikan anaknya agar setiap hari belajar dengan begitu anak akan setiap hari membaca buku.
Faktor penghambat literasi keluarga yang lain adalah karakter dari masing-masing keluarga. Ada keluarga yang memahami bahwa pendidikan anak tidak hanya didapat dari sekolah tetapi juga dari lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga orangtua juga berusaha mendidik anaknya di rumah dan mengontrol pergaulannya di masyarakat. Namun, ada juga orang tua yang acuh tak acuh terhadap anaknya dan menyerahkan pendidikan anaknya semua kepada pihak sekolah, sehingga mereka tidak pernah memperhatikan perilaku anaknya, baik di rumah maupun di masyarakat. Sikap acuh tak acuh dari orang tua inilah yang akan menghambat perkembangan budaya literasi dalam keluarga. Anak akan menjadi arogan karena diberikan kebebasan penuh oleh orang tuanya. Anak kecanduan game online karena orang tua tidak pernah menegur anaknya. Anak akan lebih suka kegiatan hangout bersama teman-temannya daripada membaca buku apalagi jika orangtua juga tidak mengarahkan dan memberi contoh. Hal ini sangat membutuhkan pemahaman dari orang tua masing-masing tentang bagaimana pentingnya penddikan literasi pada anak agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan anak.
Orangtua harus menyadari bahwa anak adalah tanggung jawab mereka sepenuhnya dan sekolah hanyalah lingkungan yang membantu pembentukan karakter dan kepribadian anak. Orang tua juga harus memperhatikan pergaulan anaknya agar anaknya tidak terjerumus pada pergaulan bebas yang membuat semakin sulit untuk mengontrol sang anak dalam menanamkan budaya literasi serta moral dan karakter anak akan menjadi rusak. Orangtua yang baik adalah orangtua yang selalu mengutamakan dan memperhatikan anaknya karena anak merupakan generasi penerus yang dapat memajukan bangsa dan negara.
Sebanyak apapun hambatan yang dihadapi dalam penerapan budaya literasi dalam keluarga, orangtua harus mampu mencari solusi dan sekreatif mungkin mencari cara agar mampu mewujudkan keluarga yang literat yang dapat menjadi generasi kebanggan bangsa. Orangtua yang cerdas, kreatif, dan penuh perhatian akan sangat mampu mewujudkan budaya literasi dalam keluarga. Kesadaran dari orangtua tentang pentingnya budaya literasi juga menjadi solusi utama untuk mewujudkan keluarga yang literat. Keluarga yang literat adalah keluarga yang mampu berpikir kritis, mampu mencari solusi dari segala masalah, mampu memahami setiap masalah yang dihadapi, juga memiliki wawasan yang luas. Hal tersebut akan menciptakan orang-orang yang berkualitas di masa depan sebagai generasi emas bangsa yang siap bersaing dengan negara-negara lain di seluruh dunia.
*Penulis adalah mahasiswa semester II tahun akademik 2018/2019 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP Agama Hindu Amlapura