oleh: Ni Kadek Juliantari

Sumber ilustrasi: http:/koleksigambars.com/

Alkisah di lereng gunung ada sebuah desa yang sejuk. Desa itu bernama Desa Manik Bumi. Gunung yang menjulang tinggi itu bernama Gunung Manik Bumi. Di desa itu, tumbuh pohon-pohon cemara yang subur. Warga desalah yang merawat Keluarga Cemara tersebut.

Suatu ketika datanglah orang tidak dikenal ke Desa Manik Bumi. Orang asing itu berkeinginan membeli kayu-kayu besar yang ada di Gunung Manik Bumi.

“Hai…Pak Lurah, juallah kayu-kayu besar itu kepadaku. Aku akan memberimu uang yang banyak.” Kata orang asing tersebut.

“Aku tidak bisa memutuskan begitu saja. Aku harus membicarakannya dulu dengan wargaku,” sahutnya.

“Baiklah. Bicarakanlah dulu dengan wargamu. Aku harap wargamu tidak menolak tawaranku.”

Orang asing itu pun berlalu. Pak Lurah segera memukul kentongan untuk mengumpulkan warganya. Seketika saja, warga berduyun-duyun datang berkumpul.

“Ada apa ini… ada apa ini?”

“Kenapa kentongan dibunyikan tiba-tiba?”

Demikian para warga saling tanya satu dengan yang lainnya. Mereka merasa ada yang tidak wajar. Kentongan tiba-tiba dibunyikan yang mengisyaratkan warga harus berkumpul.

Setelah semua warga berkumpul, Pak Lurah menyampaikan kedatangan orang asing tadi. “Wahai… wargaku tercinta. Tadi ada orang asing yang datang kemari. Dia bermaksud membeli kayu-kayu besar yang ada di Gunung Manik Bumi. Kita akan diberinya banyak uang.” Belum selesai Pak Lurah berbicara, langsung disela oleh Keluarga Cemara yang kebetulan juga ada di sana, di tempat para warga berkumpul.

“Kami Keluarga Cemara sama sekali tidak setuju kalau kayu-kayu besar di Gunung Manik Bumi itu dijual. Kami tidak setuju.”

“Bagaimana dengan pendapat kalian, wahai… para wargaku. Ingatlah kalian masih hidup kekurangan. Ada orang yang datang untuk memberi kalian uang, apakah akan kalian tolak begitu saja?” jelas Pak Lurah meyakinkan warganya.

“Kami setuju. Kami setuju. Kami setuju.” Sahut para warga dengan kompak.

“Baiklah, berarti semua setuju.”

“Tunggu dulu. Kami Keluarga Cemara tidak setuju.”

“Ah… kalian Keluarga Cemara tahu apa? Kami butuh uang. Ada kayu-kayu besar yang bisa kami jual, mengapa harus kami tolak mentah-mentah,” tungkas Pak Lurah.

“Betul…betul…betul….” Semua warga mendukung keputusan Pak Lurah. Keluarga Cemara kalah suara. Keluarga Cemara sedih dan berharap tidak akan terjadi bencana di desa itu.

Hari penebangan pohon pun tiba. Keluarga Cemara ikut menyaksikannya. Namun, mereka tidak dapat berbuat banyak. Satu demi satu pohon ditebang. Hari demi hari pohon-pohon besar di Gunung Manik Bumi ditebang. Akhirnya, habislah pohon-pohon besar di Gunung Manik Bumi.

“Wahai… para warga. Mengapa kalian begitu bodoh. Hanya karena kalian tergiur dengan uang yang banyak kalian justru mengabaikan keselamatan kalian.” Keluarga Cemara menegur para warga.

“Ah… apa maksudmu dengan keselamatan kami. Kami justru akan selamat jika punya uang karena kami bisa membeli segalanya dengan uang. Ha…ha…ha….” Pak Lurah menertawakan teguran Keluarga Cemara.

“Ingatlah… sebentar lagi musim hujan. Jika tidak ada pohon-pohon besar itu yang menahan air hujan, Desa Manik Bumi akan direndam air bah dan tertimbun lumpur.”

“Ah…omong kosong.” Seluruh warga bersama Pak Lurah meninggalkan Keluarga Cemara. Warga sudah dibutakan oleh uang. Mereka tidak menyadari musibah akan melanda desanya.

Warga asyik menikmati kehidupan dengan bergelimangan uang hasil menjual pohon-pohon besar itu. Keluarga Cemara sibuk mengumpulkan makanan untuk memperkokoh akar-akarnya. Dengan akar yang kuat, Keluarga Cemara akan mampu bertahan saat musim hujan ataupun ketika longsor melanda.

Berselang beberapa hari kemudian, musim hujan pun tiba. Siang dan malam hujan tiada hentinya menguyur desa. Warga merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena musim hujan sudah biasa terjadi. Apalagi mereka sudah memiliki persediaan makanan yang cukup. Jadi, walaupun musim hujan, mereka tetap bisa menikmati makanan enak di dalam rumahnya.

Namun, para warga itu lupa. Musim hujan tahun-tahun sebelumnya berbeda dari tahun ini. Pada musim hujan tahun-tahun sebelumnya, pohon-pohon besar di Gunung Manik Bumi masih ada dan berdiri kokoh. Kini, pohon-pohon itu telah tiada.

Baru hujan tiga hari berturut-turut saja, Desa Manik Bumi sudah tergenang air tinggi sekali, hingga masuk ke rumah-rumah warga. Warga mulai panik.

“Tahun-tahun sebelumnya hujan mengguyur desa hingga berbulan-bulan, tetapi tidak sampai seperti ini. Kenapa sekarang baru hujan tiga hari saja, desa sudah tergenang air begini.” Keluh para warga.

“Wahai… para warga yang rakus akan harta, inilah hukuman kalian. Bukankah aku sudah memperingatkan kalian agar tidak menjual kayu-kayu besar di Gunung Manik Bumi.” Jawab Keluarga Cemara.

“Lho…apa hubungannya?” Jawab Pak Lurah.

“Pohon-pohon besar di Gunung Manik Bumi itulah yang sesungguhnya menjaga kalian. Pohon-pohon itu adalah pelindung kalian dari marabahaya. Namun, karena tergiur oleh uang, kalian menebangnya begitu saja.” Warga masih belum mengerti penjelasan Keluarga Cemara. Keluarga Cemara melanjutkan tuturnya.

“Pohon-pohon besar itu memiliki akar yang kuat untuk menyerap dan menampung air hujan ini. Oleh karena itu, air hujan yang turun tidak membanjiri desa. Sekarang pohon-pohon besar itu telah tiada. Sudah tidak ada lagi yang bisa menyerap air hujan ini.” Jelas Keluarga Cemara lagi.

“Oh… tidak, Maafkan aku Keluarga Cemara.” Pak Lurah dan semua warga menyesali perbuatannya. Dia meminta maaf telah mengabaikan nasihat Keluarga Cemara.

“Sekarang, sebelum semuanya terlambat, cepatlah cari tempat yang lebih tinggi. Tinggalkan dulu desa ini kalau kalian mau selamat.”

Mendengar nasihat Keluarga Cemara tersebut, semua warga berduyun-duyun mencari tempat yang lebih tinggi. Benar saja, dalam beberapa jam saja air sudah semakin tinggi. Air bah bercampur lumpur datang dari hulu. Seketika rumah-rumah mereka terendam lumpur. Hanya tampak bagian atasnya.

Setelah musim hujan berlalu, mereka kembali ke desa. Mereka mulai membersihkan rumah-rumah mereka dari lumpur. Sejak saat itu, mereka menyadari betapa pentingnya pohon-pohon besar di gunung. Kini, setiap mereka akan menebang pohon yang sudah tua, mereka pasti menggantinya dengan pohon-pohon muda yang baru. Dengan pohon-pohon itu, Desa Manik Bumi menjadi tetap sejuk walaupun musim kemarau dan tetap aman dari banjir walaupun musim hujan.

Penulis Cerita

Ni Kadek Juliantari, lahir di Ulakan (Karangasem, Bali) pada 3 Juli 1987, menjadi dosen di STKIP Agama Hindu Amlapura

Hubungi kami di WhatsApp
1