oleh: NI LUH PUTU ARIANI *)

*Penulis adalah mahasiswa semester VII Program Studi Pendidikan Agama Hindu, STKIP Agama Hindu Amlapura

Dewasa ini, sering kita amati generasi muda mudah tersulut api amarah akibat berita-berita hoax ataupun akibat tulisan-tulisan yang berbau SARA. Hal ini menunjukkan melemahnya mental para generasi muda dalam menyikapi berita yang tersaji di media sosial ataupun di media massa. Era digital  seharusnya dapat mempermudah kebutuhan hidup, tetapi kini menjadi penyumbang problematika baru dalan kehidupan sehari-hari. Muncul suatu permasalahan baru yang diakibatkan kurangnya kemampuan dalam memfilter  informasi yang tersaji dan juga kurangnya kesadaran penggunaan media secara tepat guna. Sayangnya, dunia maya saat ini semakin dipenuhi konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, dan radikalisme, bahkan praktik-praktik penipuan.

Ini bisa terjadi tentu saja karena pengetahuan  yang minim, kurangnya pemahaman tentang etika menggunakan sosial media dan tingkat keterbacaan terhadap literatur bijak, norma-norma yang ada juga rendah atau disebabkan karena konten-konten yang dibaca kurang edukatif atau positif. Padahal, literatur dan pemahaman mengenai sikap dan norma-norma yang ada tersebut akan menjadi benteng yang ampuh tatkala ada gempuran berita-berita hoax atau berbau SARA yang dapat menyulut perpecahan dalam keberagaman yang dibalut Bhineka Tunggal Ika. Keberadaan konten negatif yang merusak ekosistem digital saat ini hanya bisa ditangkal dengan membangun kesadaran dari tiap-tiap individu.

Kini Indonesia memasuki era digital, tetapi angka buta aksara di Indonesia cukup tinggi. Sejumlah 3,4 juta jiwa atau sekitar 2,07% penduduk Indonesia masih buta aksara. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, penduduk yang tidak mengenal huruf itu sebagian besar tersebar di 11 provinsi dengan rentang usia 15-59 tahun. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis, 11 provinsi dengan angka buta aksara tertinggi, yaitu Papua (28,75%), NTB (7,91%), NTT (5,15%), Sulawesi Barat (4,58%), Kalimantan Barat (4,50%), Sulawesi Selatan (4,49%), Bali (3,57%), Jawa Timur (3,47%), Kalimantan Utara (2,90%), Sulawesi Tenggara (2,74%), dan Jawa Tengah (2,20%). Angka buta aksara di 23 provinsi lainnya diklaim di bawah angka nasional. Kemendikbud telah merumuskan upaya penuntasan buta aksara dengan memprioritaskan pada (1) daerah-daerah ”merah” (kabupaten/kota yang persentase buta aksara di atas 4%); (2) komunitas adat terpencil/khusus; dan (3) daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (daerah 3T).

Sejarah peradaban umat manusia menunjukkan bahwa bangsa yang besar ditandai dengan masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan masyarakat dunia. Keberliterasian dalam konteks ini bukan hanya masalah bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan juga yang lebih penting, bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup agar mampu bersaing dan bersanding dengan bangsa lain untuk menciptakan kesejahteraan dunia. Dengan kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan kemampuan bangsa tersebut berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global.

Berita-berita hoax, serta heters yang merajalela di era digital saat ini didukung oleh adanya penyalahgunaan media sosial. Keuntungan yang menjanjikan dengan memberikan manfaat untuk lebih mudah dalam mengakses informasi, mempermudah komunikasi yang tidak terhalang oleh jarak dan waktu, serta dapat mengefesienkan waktu dengan harga yang jauh lebih ekonomis semua itu terjadi berkat adanya  teknologi bahkan semua menjadi lebih cepat dan mudah.

Faktanya saat ini banyak yang terjadi penyalahgunaan media tersebut digunakan untuk mengunduh konten-konten yang tidak mendidik, sosial media digunakan untuk menyebar kebencian, berperang dan saling sindir melalui sosial media. Hal itu tentunya sependapat dengan  data yang dihimpun dari Brilio.Net ada 10 kasus penyalahgunaan media sosial yang paling sering ditemui di masyarakat, yakni: upload foto tidak senonoh, berbagi foto korban kecelakaan, berbagi foto korban perang, berbagi foto anak kecil merokok, mengumpat dengan kata-kata kasar untuk meluapkan amarah, berbagi foto orang meninggal, berjudi atau taruhan di media sosial, mem-bully di media sosial, demi eksis di media sosial rela merusak alam, pencemaran nama baik, dan sejenisnya.

Kasus yang umum terjadi tentunya itu hanya sebagian kecil dari kasus-kasus yang ada karena dampak tersebut ibarat gunung es yang terlihat hanya yang ada dipermukaan, tetapi bom waktu akan menunjukan semua kasus lain yang lebih banyak adanya.  Sepuluh kasus tersebut sering kali ditemukan ketika menjelajah sosial media seperti facebook, line, instagram, path, twitter, dan sejenisnya.  Sosial media seolah-olah menjadi tempat yang empuk untuk menyebar kebencian, untuk mem-bully bahkan untuk mengumbar aib seseorang sehingga sering tampak adanya perseteruan di dunia maya. Degradasi moral, kurangnya memperhatikan etika dan norma-norma yang ada, serta penanaman karakter yang kurang baik menyebabkan banyak kasus-kasus tersebut terjadi di sosial media. Pemahaman agama yang tidak memadai dan aktivitas bermedia sosial yang intens tanpa dibekali dengan pengetahuan dan etika, dan penanaman karakter yang adiluhung menjadi sangat riskan bagi generasi muda  atau generasi milenial yang masih sangat labil.

Memasuki usia remaja emosi dan pola pikir sedang berkembang pesat sehingga masih sangat dibutuhkan peran orang tua ikut ambil andil dalam mengawasi buah hatinya bersosial media. Dalam sosial media apapun bisa ada dan bisa terjadi bahkan sesuatu yang diluar dugaanpun nyaris selalu kita temui dimedia sosial. Dari unggahan yang positif hingga unggahan yang negatif ada di sana.

Fenomena yang terjadi sekarang adalah generasi muda  yang terkategori sebagai generasi milenial lebih senang membaca status orang pada media sosial daripada membaca buku. Begitu juga dalam menggunakan sosial media generasi muda lebih aktif untuk melihat konten-konten yang sedang viral tanpa memperhatikan nilai edukasi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, banyak generasi milenial melakukan segala cara untuk menjadi viral dan terkenal, serta berbondong-bondong memiliki cita-cita menjadi artis di media sosial tanpa memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu.

Lalu hal yang menyebabkan kita mnejadi miris adalah dalam era digital tersebut, angka buta aksara masih tergolong tinggi. Buta aksara masih saja tersisa sebagaimana Hari Aksara Internasional telah ditetapkan untuk diperingati pada tanggal 8 September melalui Konferensi UNESCO pada tanggal 26 Oktober 1966. Namun, dalam peringatan tahun 2018 angka yang fantastis, yakni melebihi 3 juta jiwa menyandang buta aksara. Oleh karena itu, perlu adanya inisiatif dan inovasi untuk menurunkan angka buta aksara tersebut yang dikombinasikan dengan penanaman karakter bagi generasi milenial.

Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Lalu bagaimana strategi yang tepat untuk menyadarkan dan memberikan pemahaman kepada para generasi milenial tersebut? Bagaimana cara yang sesuai dengan perkembangan zaman serta sesuai dengan apa yang selalu generasi milenial genggam? Hal itulah yang diulas pada tulisan ini.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Menurut hasil riset yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama dengan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universitas Indonesia, total jumlah pengguna Internet di Indonesia per awal 2015 adalah 88,1 juta orang. Akan tetapi, sesuai dengan riset yang dilansir oleh wearesocial.sg pada tahun 2017 tercatat ada sebanyak 132 juta pengguna internet di Indonesia dan angka ini tumbuh sebanyak 51 persen dalam kurun waktu satu tahun. Peningkatan kapasitas dan kompetensi tutor pendidikan keaksaraan, diversifikasikan layanan program, dan memangkas birokrasi layanan program melalui aplikasi daring sibopaksara.kemdikbud.go.id.

Perkembangan dunia digital dapat menimbulkan dua sisi yang berlawanan dalam kaitannya dengan pengembangan literasi digital. Berkembangnya peralatan digital dan akses akan informasi dalam bentuk digital mempunyai tantangan sekaligus peluang. Salah satu kehawatiran yang muncul adalah jumlah generasi muda yang mengakses internet sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta orang. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk berinternet, baik melalui telepon genggam, komputer personal, atau laptop, mendekati 5 jam per harinya. Tingginya penetrasi internet bagi generasi muda tentu meresahkan banyak pihak dan fakta menunjukkan bahwa data akses anak Indonesia terhadap konten berbau pornografi per hari rata-rata mencapai 25 ribu orang (Republika, 2017).

Hasil riset yang dilansir oleh Mitchell Kapoor menunjukkan bahwa generasi muda yang memiliki keahlian untuk mengakses media digital, saat ini belum mengimbangi kemampuannya menggunakan media digital untuk kepentingan memperoleh informasi pengembangan diri. Hal ini juga tidak didukung dengan bertambahnya materi/informasi yang disajikan di media digital yang sangat beragam jenis, relevansi, dan validasinya (Hagel, 2012). Di Indonesia saat ini, perkembangan jumlah media tercatat meningkat pesat, yakni mencapai sekitar 43.400, sedangkan yang terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 243 media.

Dengan demikian, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai media yang ada, terlepas dari resmi atau tidaknya berit tersebut (Kumparan, 2017). Hal ini terindikasi dari semakin merosotnya budaya baca masyarakat yang memang masih dalam tingkat yang rendah. Kehadiran berbagai gawai (gadget) yang bisa terhubung dengan jaringan internet mengalihkan perhatian orang dari buku ke gawai yang mereka miliki. Setiap individu perlu memahami bahwa literasi digital merupakan hal penting yang dibutuhkan untuk dapat berpartisipasi di dunia modern sekarang ini. Literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya.

Generasi yang tumbuh dengan akses yang tidak terbatas dalam teknologi digital mempunyai pola berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Setiap orang hendaknya dapat bertanggung jawab terhadap bagaimana menggunakan teknologi untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Teknologi digital memungkinkan orang untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga dan teman dalam kehidupan sehari-hari.

Generasi milenial menurut para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Biro sensus di Amerika Serikat menyebutkan populasi generasi millenial diperkirakan pada 2015 ini jumlah populasinya akan meningkat sampai 75,3 juta jiwa dan menjadi kelompok generasi terbesar.

Sementara itu, literasi secara sederhana adalah kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi  sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.

Penyuluhan berasal dari kata “suluh” yang berarti “obor” atau “pelita” atau “yang memberi terang”. Dengan penyuluhan diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Pengetahuan dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan yang sudah tahu menjadi lebih tahu. Keterampilan dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari yang tidak mampu menjadi mampu melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat. Sikap dikatakan meningkat, bila terjadi perubahandari yang tidak mau menjadi mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan. (Source: Ibrahim, et.al, 2003:1-2). Penyuluhan dapat dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan untuk orang dewasa. Dalam bukunya A.W. van den Ban dkk. (1999) dituliskan bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar.

Literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Mereka tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif.

Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif masyarakat secara bersama-sama. Keberhasilan membangun literasi digital merupakan salah satu indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Oleh karena itu, literasi digital merupakan kecakapan (life skills) yang tidak hanya melibatkan kemampuan menggunakan perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi, tetapi juga kemampuan bersosialisasi, kemampuan dalam pembelajaran, dan memiliki sikap, berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetensi digital.

Menghadapi situasi yang serba canggih dan era digital seperti sekarang ini, berbagai persoalan sesungguhnya dialami oleh para penyuluh yang penuh dedikasi untuk mengemban tugas mulia yang digenggam oleh seorang pendidik. Setiap umat  sesungguhnya bisa menjadi penyuluh yang terpenting adalah adanya niat untuk berbagi dan berusaha melakukan hal-hal positif. Penyuluh dalam artian seorang yang menyampaikan pesan positif dan inspiratif kepada khalayak. Buku, Literatur sepertinya mulai kurang diminati oleh pembeli. Bagaimana cara membangun regenerasi  yang baik nantinya untuk kita menitipkan kebudayaan dan nilai-nilai adiluhung yang akan menjadi warisan bangsa? Tentu harus ada upaya kreatif yang mengarah pada pemanfaatan teknologi di era digital ini.

Sasaran utama dari literasi berbasis sosial media juga dilatarbelakangi karena fenomena di lapangan. Orang-orang lebih asyik dengan handphone-nya daripada membaca buku. Di samping itu sosial media yang awalnya untuk pamer foto, narsis di mana-mana, tempat mencurahkan perasaan, bahkan saling sindir  akan semakin sedikit kita temui, ketika adanya kesadaran dari generasi milenial yang akan membawa nama Hindu kedepan. Karena sosial media sudah menjadi ladang subur untuk berbagi pengetahuan tentang agama dan kebudayaanya.

Buku adalah jendela dunia, dan kegiatan membaca buku merupakan suatu cara untuk membuka jendela tersebut agar dapat mengetahui lebih tentang dunia yang belum kita tahu sebelumnya. Oleh karena itu, kebiasaan membaca harus ditumbuhkan sejak usia dini. Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Literasi digital adalah ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat, dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Tak perlu berpikir yang terlalu tinggi atau luas terkait difinisi tersebut. Menurut Menkominfo literasi digital sebetulnya dapat dimulai dari lingkungan terdekat, yakni keluarga. “Literasi nomor satu adalah di rumah. Tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya.” Demikian dikatakan Rudiantara dalam sebuah acara diskusi di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Barat, Jakarta, Selasa (30/10/2018). Selain keluarga, pihak-pihak yang menjadi gerbang utama untuk literasi digital adalah sekolah, komunitas, dan kelompok masyarakat digital lainnya. Menurut dia, anggaran terbesar di Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo dialokasikan untuk literasi digital.

Bukan tanpa alasan jika literasi untuk mengembangkan informasi terfokus pada online dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Hal itu tentunya sesuai dengan pengguna sosial media dan handphone android yang saat ini penggunananya sudah mencapai 87,5 persen dari jumlah penduduk di dunia. Berdasarkan data Kementrian Komunikai dan Informatika juga disajikan data yang sebanding bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang yang notabane 93% menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Bahkan Indonesia adalah pengguna facebook terbesar ke empat di dunia setelah USA, Brazil, dan India. Indonesia juga menjadi pengguna twitter terbesar kelima di dunia.

Sebagai generasi yang produktif pada era digitalsudah sepatutnya kita mulai mengembangkan literasi digital berbasis konten-konten yang mendidik.  Hal itu perlu dilakukan dengan cara proaktif dan produktif dalam berkarya, terutama membuat tulisan-tulisan yang mengandung nilai-nilai universal keberagamaan sehingga umat tidak mudah terprovokasi karena pemahaman kita telah sama dan pengetahuan yang sama telah menjadi milik kita bersama, menanamkan etika dan nilai budi pekerti juga harus dipertimbangkan dalam menggunakan sosial media sehingga penyalahgunaan dan permasalahan yang disebabkan karena hadirnya sosial media bisa diminimalisir.

Generasi milenial diharapkan dengan penuh kesadaran menuliskan ataupun wajib membagikan konten-konten yang berisikan ilmu pengetahuan  mengenai hal-hal yang bersifat mendidik dan memmiliki manfaat positif  di media sosial. Aksi semacam ini alangkah baiknya mulai dilakukan oleh semua lapisan masyarakat melalui literasi digital itu.

Ketika banyak masyarakat menjadi pelopor kegiatan tersebut, maka penyebaran pengetahuan tentang karakter dan pendidikan dapat diemban oleh semua pihak. Hal itu dapat dikemas dengan cara mewajibkan generasi milenial melalui pendidikan formal atau sekolah untuk membuat menggunakan akun media sosialnya dengan menulis konten-konten kreatif dan mengurangi menyebar kebencian dan menghujat sesama di dunia maya yang menjadi sasaran tentunya generasi milenial yang sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga universitas. Melalui   satu siswa untuk satu akun untuk menebar benih kebaikan melalui tulisan-tulisan yang bermutu dan mendidik. Dengan cara demikian, pengembangan literasi di era digital bukanlah suatu keniscayaan. Nantinya, pengembangan literasi digital tersebut melalui berbagai akun media sosial dapat memberikan angin segar bagi umat dan dapat menguatkan mental umat di tengah gempuran berbagai tulisan yang berbau SARA dan memperpecahbelah kebinekaan di negeri kita.

Di samping itu, dengan cara demikian, siswa juga secara tidak langsung  menjadi seorang  penulis. Dimulai dari menulis status pada media sosial yang mengandung pesan moral hingga nantinya menulis artikel atau esai yang dapat digunakan untuk memberikan penyuluhan kepada generasi milenial di era digital. Sebagai seseorang yang mengeyam pendidikan dan mengenal baca tulis, yang terpenting adalah mampu menjadi ujung tombak yang bisa memberikan pemahaman kepada khalayak banyak dan bisa memberi sumbangsih terhadap keajegan agama dan budaya kita serta mengembangkan literasi dikalangan masyarakat dengan mampu menggunakan gadget secara optimal untuk mendukung program pemerintah melalui literasi digital.

Berdasarkan uraian tersebut, sangat relevan jika seluruh pengguna social media mulai menampilkan diri dengan status-status atau tulisan-tulisan yang menginspirasi generasi sehingga dapat menjadi percontohan yang baik terhadap pemanfaatan media sosial untuk melakukan penyuluhan dan penyadaran terhadap pembaca. Karena penyuluhan berbasis literasi digital dimaksudkan untuk menyampaikan pesan moral kepada seluruh lapisan masyarakat, kemasan dan sajian dapat dikreasikan oleh penulis, dengan melengkapi foto, gambar, video, atau sejenisnya, sehingga dapat menimbulkan daya tarik pengguna media digital untuk melihat, membacanya, ataupun ikut berkomentar terkait konten yang ditulis atau disebarkan. Dengan demikian, harapan kita bersama untuk menguatkan mental para generasi milenial  dan mengurangi angka buta aksara di Indonesia pada era digital dapat dilakukan melalui literasi digital demi terwujudnya generasi emas Indonesi di masa mendatang. Dengan melakukan penyuluhan berbasis didital secara terus-menerus dan berkesinambungan, di samping memiliki kontribusi positif dan mendukung program pemerintah tentunya hal tersebut juga sebagai upaya mempersiapkan generasi emas Indonesia menyongsong abad ke-21, yaki menjadi  generasi yang memiliki kompetensi digital.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa generasi emas Indonesia dapat diwujudkan melalui berbagai penyuluhan berbasis literasi digital yang dilakukan. Penyuluhan berbasis literasi digital tersebut penting untuk menguatkan mental para generasi milenial terhadap berbagai gempuran konten-konten yang tidak mendidik di media sosial.

Hubungi kami di WhatsApp
1