oleh: Ni Kadek Juliantari

Sumber ilustrasi: https://doktersehat.com/

Alkisah di sebuah Kerajaan Semesta Raya hiduplah seorang Raja dan Permaisurinya. Sang Raja memiliki seorang putri yang diberi nama Putri Manik Bumi. Putri Manik Bumi sangat malas. Setiap hari kerjanya hanya tidur-tiduran dan bermalas-malasan. Padahal, dia ditugasi merawat dan memelihara tanaman obat-obatan yang ada di halaman Kerajaan. Namun, Putri Manik Bumi tidak pernah mendengarkan kata-kata ayahnya. Dia tetap saja bermalas-malasan. Tanaman obat yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya untuk memelihara diabaikan begitu saja. Akhirnya, tanaman obat itu layu dan lama-kelamaan semuanya mati.

Suatu hari, Sang Raja jatuh sakit. Sang Raja batuk-batuk hingga mengeluarkan darah. Segala jenis obat-obatan dari tabib istana tidak mampu menyembuhkannya. Putri Manik Bumi dan Permaisuri mulai cemas melihat kondisi Sang Raja yang kian hari kian memburuk. Lalu Tabib istana itu berkata: “Paduka Raja bisa disembuhkan dengan satu jenis obat.”

“Apa itu?” tanya Putri Manik Bumi.

“Dulu di taman obat di halaman Kerajaan ini sesungguhnya ada. Namun, kenapa semuanya sekarang tiada? Padahal itu obat-obatan langka yang disediakan oleh semesta, yang bisa dimanfaatkan kapan saja.”

Mendengar kata-kata Tabib isatana itu, Putri Manik Bumi merasa bersalah. Karena ulahnya yang bermalas-malasan itulah, semua tanaman obat di halaman istana mati.

“Tanaman apakah gerangan yang bisa mengobati ayahku, Tabib? tanya Putri Manik Bumi.

“Sirih merah. Ini sangat sulit ditemukan,” kata Tabib istana.

“Baiklah, Tabib. Aku akan menemukan sirih merah itu untuk ayahku.”

Keesokan harinya Putri Manik Bumi bersiap-siap untuk berangkat mencari sirih merah untuk ayahnya. Ibunya sudah melarangnya pergi. Namun, Putri Manik Bumi tetap memaksa. Dia ingin pergi sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia telah berubah. Ia akan bertanggung jawab menemukan sirih merah itu. Akhirnya pergilah Putri Manik Bumi seorang diri. Tidak lupa ia membawa perbekalan untuk beberapa hari perjalanan.

Satu hari telah berlalu, tetapi Putri Manik Bumi belum nemukan sirih merah sepanjang perjalanan. Ia mulai putus asa. Namun, terbayang wajah ayahnya yang lemas tidak berdaya, ia kembali bersemangat melangkah. Dalam perjalanan menuju hutan, ia disapa oleh yang tidak dikenalinya.

“Hai… Tuan Putri, hendak ke manakah engkau seorang diri?” Terdengar suara dari semak-semak.

“Siapa engkau?”

“Aku Kembang Bintang.”

“Engkau mau ke mana Tuan Putri? Bolehkah aku ikut denganmu. Siapa tahu dalam perjalanan engkau membutuhkan bantuanku. Aku bisa engkau gunakan untuk mengobati matamu jika kelelahan.”

“Oh…begitu. Baiklah, ayolah ikut denganku, Sobat.” Putri Manik Bumi mengajak Kembang Bintang untuk ikut dengannya.

Lalu, Putri Manik Bumi melanjutkan perjalanannya. Beberapa meter dia telah berjalan bersama Kembang Bintang, lalu dia menemukan Temu Tis.

“Hai… Tuan Putri, hendak ke manakah engkau bersama sahabatku Kembang Bintang?”

“Aku ingin mencari Sirih Merah untuk obat ayahku. Aku belum menemukannya.”

“Bolehkah aku ikut denganmu? Siapa tahu nanti engkau kelelahan atau luka. Aku juga bisa engkau gunakan untuk menyembuhkan lukamu.”

“Oh…iya, tentu saja. Ayo…ikutlah denganku, Sobat.”

Akhirnya Temu Tis juga ikut mengantarkan Tuan Putri mencari Sirih Merah. Mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Lalu, mereka bertemu dengan Jeruk Nipis. Kali ini Tuan Putri yang menyapa duluan.

“Hai… Jeruk Nipis, sungguh beruntung dirimu tumbuh di sini. Buahnya lebat dan tidak ada manusia-manusia jahat yang mengganggumu.”

“Hai…Tuan Putri. Wah… ada temanku Kembang Bintang dan  Temu Tis juga ikut denganmu. Hendak ke manakah engkau, Tuan Putri?”

“Aku ingin mencari Sirih Merah untuk ayahku. Aku belum menemukannya. Apakah engkau tahu di mana ada Sirih Merah, Jeruk?”

“Oh…iya. Aku tahu. Sirih Merah melilit di pohon Kayu Sakti. Ada lebih kurang 5 kilometer dari sini.”

Mendengar jawaban Jeruk Nipis, Tuan Putri mulai lega. Harapannya untuk menyembuhkan ayahnya akan terwujud. Lalu, Tuan Putri juga mengajak Jeruk Nipis bersamanya untuk membantunya mendapat Sirih Merah. Mereka berempat pun melanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan menuju rumah Sirih Merah, banyak tanaman obat yang dijumpainya. Putri Manik Bumi mengajak setiap tanaman obat yang dijumpainya. Berselang beberapa jam kemudian akhirnya sampailah dia di rumah Sirih Merah.

Putri Manik Bumi menyampaikan maksudnya mendatangi Sirih Merah. Dia menceritakan kondisi ayahnya yang sekarat dan obatnya adalah Sirih Merah.

“Wahai… Sirih Merah, maukah engkau menolongku, mengobati ayahku?” Putri Manik Bumi bertanya penuh harap.

“Oh… tentu saja, Tuan Putri. Hamba bersedia. Tapi, setelah mengobati ayah Tuan Putri apakah hamba boleh tetap berada di istana?” Kini giliran Sirih Merah yang bertanya penuh harap.

“Tentu saja Sirih Merah. Semua tanaman obat yang ikut denganku hari ini akan aku ajak ke istana. Kalian semua akan aku rawat di istana. Tumbuhlah kalian subur di taman istana.”

Mendengar hal itu, tanaman obat merasa senang. Mereka akan hidup selamanya di istana dan dirawat langsung oleh Tuan Putri. Sungguh bahagia hati mereka. Akhirnya, mereka semua kembali ke istana.

Setelah sehari penuh menempuh perjalanan untuk kembali, mereka semua tiba di istana. Permaisuri yang melihat putrinya sudah datang, senang bukan kepalang. Dipeluknya Putri Manik Bumi. Putri Manik Bumi lalu memperkenalkan teman-temannya yang ditemuinya sepanjang perjalanan ketika mencari Sirih Merah. Permaisuri merasa bangga atas perjuangan Putri Manik Bumi.

Dengan obat Sirih Merah, Sang Raja akhirnya bisa sembuh. Sang Raja senang melihat putrinya sudah mulai berubah dan bisa bertanggung jawab. Sejak saat itu, Putri Manik Bumi merawat semua tanaman obat yang ditanam di halaman istana. Tanaman obat itu tumbuh dengan subur. Sewaktu-waktu jika ada yang membutuhkan obat-obatan, teman-teman Manik Bumi itu bisa membantunya. Putri Manik Bumi telah menyesali semua perbuatannya di masa silam yang mengakibatkan semua tanaman obat milik ayahnya mati. Kini, dia tidak mau kejadian itu terulang lagi.

Penulis Cerita

Ni Kadek Juliantari, lahir di Ulakan (Karangasem, Bali) pada 3 Juli 1987, menjadi dosen di STKIP Agama Hindu Amlapura

Leave A Comment

All fields marked with an asterisk (*) are required

Hubungi kami di WhatsApp
1